seojiwo September 18, 2024 0 Kommentare

Kesalahan paradigma dalam visualisasi pendidikan

Kesalahan paradigma dalam visualisasi pendidikan

Oleh: Sururum Marfuah Hash (Mahasiswa Institut Pertanian Bogor) Persoalan biaya pembangunan sarana dan prasarana (BPIF) banyak menjadi perdebatan di beberapa kampus ternama. Pandangan mengenai topik ini juga beragam, ada imigrasitanjungpinang.com yang setuju mengapa institusi membutuhkan dana dan pengiriman uang untuk siswa yang kurang beruntung, dan ada yang tidak setuju mengapa mereka tidak memerlukannya. Tidak ada transparansi dalam penggunaan dana BPIF untuk memasarkan pendidikan.

Lebih jauh lagi dalam permasalahan ini, nyatanya ada yang luput dari perhatian kita, yaitu kesalahan paradigmatik bahwa pendidikan saat ini bukanlah sebuah hak, melainkan sebuah bisnis. Sekali lagi, ini bukan tentang “hak”, tapi tentang “bisnis”. Kita terjebak dalam common sense bahwa “pendidikan itu mahal”, namun kita melupakan hakikat pendidikan di negara yang benar-benar “benar”. Ketika suatu negara menganggap pendidikan sebagai sebuah bisnis, maka negara akan meninggalkannya. Padahal, hak atas pendidikan tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat kaya saja, namun juga bagi masyarakat miskin.

Ketika pendidikan menjadi sebuah bisnis, maka hasilnya juga untuk bisnis tersebut. Entah penyediaan lapangan kerja industri, atau semangat berbagai lembaga yang ditugaskan istana untuk merangsang kewirausahaan.

Apakah siswa mau tidak mau akan menjadi gila “IPK” vs. gila pengetahuan dan sopan santun? Karena orientasi sekolahnya adalah “bisnis”. Siapapun yang kalah bersaing akan siap tersingkir karena perusahaan hanya mementingkan pendapatan dan keuntungan, bukan kualitas. Walaupun menyangkut kualitas, namun kualitas adalah untuk “bisnis” dan bukan untuk “meningkatkan peradaban”.

Tidaklah berlebihan jika kita mengatakan “Selamat datang di era kegagalan” atau yang biasa kita sebut dengan era kegagalan, ketika teknologi semakin maju namun kesenjangan masih ada dimana-mana. Masa ketika sistem kapitalis mengorientasikan otak manusia pada “uang dan uang”. Masa dimana sistem kapitalis mampu membuat manusia menjadi budak uang dan uang,

Posisi kami sama, yaitu “korban” dalam sistem ini. Baik itu kampus, negara, bahkan aku dan kamu. Kita terjebak dalam sajian buruk yang telah mengimpor esensi pendidikan yang sebenarnya, yaitu “perbaikan peradaban”, yang hasilnya tidak hanya berupa ilmu pengetahuan, tetapi juga keimanan.

Kita harus belajar bagaimana peradaban Islam yang berjaya selama 13 abad ini telah mengagungkan pendidikan, karena dari pendidikan akan lahir manusia-manusia unggul yang tidak seperti indikator-indikator masa kini, yaitu mereka yang cerdas dan kreatif, namun untuk itulah semua kecerdasan diarahkan dan kreativitasnya. . . diri.

Sedangkan dalam peradaban Islam, manusia unggul adalah manusia yang cerdas dan kreatif dan semua itu berpedoman pada indahnya iman, karena hasilnya manusia siap membawa perubahan dalam peradaban.

Hinterlasse einen Kommentar