seojiwo August 26, 2024 0 Comments

Tiga perempuan yang ‘terlupakan’ namun berpengaruh dalam pengetahuan soal Mesir Kuno

Tiga perempuan yang ‘terlupakan’ namun berpengaruh dalam pengetahuan soal Mesir Kuno

Pada abad ke-19, tiga perempuan merevolusi pemahaman masyarakat tentang Mesir Kuno secara permanen. Namun, mengapa warisan mereka masih sering dilupakan?

Pada tahun 1864, penulis perjalanan asal Inggris, Lucie Duff Gordon, berada di rumahnya yang menghadap Kuil Luxor. Ia menatap keluar jendela menuju pegunungan Libya di seberang tepi barat Sungai Nil.

Wajahnya terpapar sinar matahari saat ia mendengarkan berbagai suara dari bawah rumahnya: unta yang melenguh, keledai yang meringkik, dan anjing yang menggonggong.

Lucie merindukan keluarganya di London, terpaksa meninggalkan mereka saat berjuang melawan gejala tuberkulosis di tengah panasnya cuaca gurun Mesir.

Dia tinggal di Maison de France, rumah yang dibangun oleh militer sekitar tahun 1815. Lucie sangat mencintai tempat yang ia sebut “Istana Theban” dan setiap hari menulis surat kepada keluarganya dari balkon rumahnya.

Surat-surat yang ditulisnya dari Mesir, yang merinci kehidupan sehari-harinya di sana, diterbitkan ke dalam sebuah buku tahun berikutnya.

Di dalam buku itu, Lucie menggambarkan dengan detail kondisi politik Mesir, tradisi masyarakat, serta hubungan yang ia jalin dengan tetangganya.

Oleh sebab itu, buku ini menonjol di tengah karya-karya penulis perempuan lainnya yang lebih banyak menulis fiksi.

Pengalaman perjalanan dan kehidupan Lucie sebagai seorang perempuan Inggris yang mandiri segera memotivasi pelancong perempuan lainnya untuk mengikuti jejaknya.

Lebih dari satu dekade kemudian, novelis Amelia Edwards, terinspirasi oleh pengalaman Lucie, mengunjungi Mesir dan menerbitkan catatan perjalanannya yang terkenal, A Thousand Miles up the Nile.

Karya Amelia pun menarik perhatian Emma Andrews, seorang pelancong Amerika yang memainkan peran penting dalam pengembangan arkeologi di Mesir pada awal abad ke-20 dengan mendanai banyak penggalian makam – banyak di antaranya masih diteliti hingga kini.

Walaupun ketiga perempuan ini awalnya berkunjung ke Mesir sebagai turis, masing-masing memberikan kontribusi yang signifikan pada bidang Egyptology (studi ilmiah tentang Mesir Kuno).

Melalui tindakan mereka, mereka tidak hanya membentuk cara pandang kita terhadap salah satu peradaban paling pesantrenalfatah.com penting dalam sejarah kuno, tetapi juga menggambarkan bagaimana para wisatawan melakukan perjalanan ke Mesir pada pergantian abad ke-20.

Dari November 1873 hingga Maret 1874, Amelia dan rekannya Lucy Renshaw berlayar menyusuri Sungai Nil dengan perahu kecil bernama Philae.

Mereka mengunjungi semua situs yang disarankan dalam panduan perjalanan Murray: piramida Giza; piramida Saqqara; pemakaman Beni Hasan; kuil Dendera; kuil-kuil di Luxor; Lembah Para Raja dan makam-makam lain di Thebes; serta situs-situs di Esna, Aswan, dan Abu Simbel.

Pada waktu itu, upaya pelestarian situs-situs ini belum dilakukan, sehingga banyak yang mereka kunjungi dalam keadaan rusak. Amelia bertekad untuk mengubah kondisi tersebut.

Di bulan Maret itu, mereka tinggal selama beberapa minggu di Luxor. Amelia sangat tertarik dengan bekas rumah yang sempat dihuni Lucie Duff Gordon.

Namun, saat melihat tumpukan batu bata di atas kuil, ia kaget mendapati kondisinya.

Setelah hampir runtuh akibat banjir dari Sungai Nil, rumah kesayangan Lucie, yang ia sebut “Istana Theban,” kini hampir tidak dapat dihuni.

Amelia pun memanjat masuk dan menuju jendela, memandang ke luar melihat sungai dan dataran Theban di depannya.

Menyaksikan pemandangan yang sama seperti yang dilihat Lucie, Amelia menuliskan betapa pemandangan itu, “memperindah ruangan dan mengubah keadaan rumah ini yang reyot menjadi sangat indah”.

Leave a Comment